Jumat, 19 Agustus 2011

Cerpen “Luka Dalam Surat”


Aku termangu melihat seorang perempuan terisak di depanku. Tubuhnya terguncang, juga hatinya. Tidak ada kata yang mampu aku ucapkan untuk menenangkan tangisnya selain, “Sabar ya, Mbak…” Namun nampaknya yang ia butuhkan lebih dari sekedar kata sabar.
          “Sampai kapan dek, mas Bagas seperti ini? Aku udah gak kuat.” Katanya masih bicara terbata.
          Demi apa aku bukan Dewi yang tahu kapan kakak kandungku akan berhenti memperlakukan dia seperti ini. Kalau memang dia ingin tahu jawaban pastinya, kenapa dia tidak menanyakan langsung saja pada mas Bagas. Bahkan kalau memang dia sudah lelah dengan perilaku mas Bagas, tinggalkan saja mas Bagas. Toh Clara cantik, tidak akan sulit mencari pengganti mas Bagas.
          “Aku cinta sama mas Bagas, tapi aku juga gak bisa kalau dia cuma memberi luka. Di sisi lain, aku juga gak bisa ninggalin mas Bagas.” Katanya lirih.
          Repot! Batinku. “Mbak Clara yang sabar ya. Nanti biar aku yang coba ngomong sama mas Bagas.”  
          Setelah aku mengakhiri ucapanku, seulas senyum hinggap di bibirnya, manis. Apa yang membuat mas Bagas tega menyakiti lagi dan lagi wanita semanis dia. Dia lalu berpamitan, sambil mengusap sisa genangan air mata.
          “Terimakasih Asti. Aku berhutang banyak padamu.”
          Memang dia berhutang banyak padaku. Dia sudah membuat nilai ulangan harian biologiku terjun payung. Karena malam sebelum hari ulangan, aku mendengarkan isak tangisnya lagi. Semalaman suntuk!
          Mbak Clara orang yang manis dan baik. Kata mama, calon menantu idaman. Perhatiannya kepada keluargaku juga tidak main-main. Sewaktu Papa opname di rumah sakit, mbak Clara hampir setiap hari menjenguk papa dan membawakan masakan untuk mama dan aku. Tapi ibarat pesugihan yang selalu minta tumbal, dalam kasus ini aku yang menjadi tumbalnya, dengan selalu sedia mendengarkan dia bercerita tentang kegalauan hubungan mereka, mbak Clara dan mas Bagas. Bukannya menyelamatkanku dari kepahitan menjadi tumbal, Mama dan Papa malah berkata, “Wah, kalian rukun ya. Udah kayak adek kakak beneran.” Itu menyakitkan.
          Bagian yang paling membuatku sakit bukan karena aku harus menjadi tong sampah untuk mbak Clara. Tapi melihat dia menangis dan menangis karena tingkah polah kekasihnya, kakak kandungku, mas Bagas. Setiap mbak Clara bercerita tentang mas Bagas, setiap itu pula menambah daftar nama perempuan yang menjadi korban Mas Bagas: Marni, Utik, Nuke, Siti, dan masih ada beberapa nama lagi. Perihnya adalah, Mas Bagas selalu meminta restu mbak Clara sesaat sebelum mengeksekusi korban. “Sayang, nanti aku mau jalan sama Nuke, rencananya aku mau nembak dia, paling lama juga jalan seminggu kok. Do you mind?”  Dan benar saja, otak-hati dan mulut jarang terjadi kesinambungan. Otak dan hati boleh saja mengatakan tidak, tapi yang keluar dari mulut mbak Clara, “Janji ya cuma seminggu.” Lalu mbak Clara memberikan senyum manis itu untuk mas Bagas, dan menyisakan tangisnya untukku.
          Pernah suatu aku berada di rumah berdua dengan mas Bagas, aku menginterogasinya,
          “Mas, kok tega sih sama mbak Clara kayak gitu?”
          “Apa sih? Anak bau kencur mau tahu aja.”
          “Mas, serius. Aku udah denger semua dari mbak Clara.”
          “Apa yang kamu dengar dari dia adekku bawel?”
          “Semuanya. Marni, Utik, Nuke, Siti, dan banyak lagi. Atau perlu aku diskusiin masalah ini sama Mama dan Papa?”
          Ancamanku berhasil, Mas Bagas gentar kalau sudah berhubungan dengan Mama dan Papa. Yang pertama, dengan perilaku Mas Bagas yang seperti itu, otomatis mereka akan membela mbak Clara, bahkan menyuruh mbak Clara menyudahi hubungannya dengan Mas Bagas. Yang kedua, tidak menutup kemungkinan mas Bagas akan dijatuhi hukuman, dengan menyita segala aset yang dapat memberinya kenyamanan.
          “Aku mencintai Clara. Sampai kapan pun. Aku hanya nggak ingin kehilangan dia. Aku ingin memperistrinya dek. Tapi itu nanti, saat aku dan dia sudah benar-benar dalam keadaan siap. Aku masih belum bisa terikat dengan komitmen yang berat. Aku masih ingin menikmati masa muda. Lebih baik menjadi remaja nakal daripada bapak-bapak nakal kan?” kerlingnya usil.
          “Tapi kenapa mas Bagas blak-blakan gitu sama mbak Clara? Kasian tahu. Dia itu terluka.”
          “Dia yang meminta padaku untuk tidak menutupi hal apapun.”
          “Termasuk mengkhianatinya?”
          “Aku enggak mengkhianati dia, mengkhianati adalah ketika nama Clara tergeser dengan nama lain dalam hatiku. Pengkhianatan itu masalah hati, bukan fisik.”
          “Tapi mas…”
          “Udahlah dek. Ini masalah mas. Kamu belum waktunya untuk banyak tahu.” Aku hanya bisa diam dan cemberut, sebelum dia melanjutkan dan membuat uluran bibir ini makin maju, “satu lagi, mama sama papa gak boleh tahu. Terus kalau Clara curhat sama kamu, tanggepin aja sebisa kamu. Oke Asti?”
          “Tapi mas, bukan cuma mbak Clara yang capek, Asti juga. Asti capek lihat mbak Clara nangis kayak gitu.”
          “Makanya, kalau mau lihat mbak Clara gak sedih, dihibur donk. Bilangin juga, Mas Bagas bersumpah demi apapun di dunia ini, Mas gak bakal ngelukain dia sedikitpun, kalau kita udah nikah.”
          Dan aku hanya terbengong-bengong melihat kepergiannya. Gampang ya bikin sumpah.

---

          Malam ini Mbak Clara mengajakku makan malam di Mc. Donald’s setelah sebulan lebih kami tidak saling bertemu. Bersyukur karena besok tidak ada ulangan harian, karena pasti malam ini aku membutuhkan waktu dan tenaga ekstra untuk calon kakak iparku. Mbak Clara memintaku untuk tidak memberi tahu siapapun tentang pertemuan ini, tidak mas Bagas, mama dan papa.
          “Hei Asti…” aku menoleh ke sumber suara, si pemilik suara terduduk di suatu sudut ruangan dengan melambaikan tangannya. Raut mukanya ceria, sangat ceria. Lalu aku menuju bangku itu dan duduk di depannya.
          “idiih, gayaa sekarang mbak Clara pake kacamata. Pantes silau.” Candaku lalu diikuti gelak tawa kami berdua.
          “Iya nih, minus-nya makin besar, udah harus pake kacamata.”
          “Kalau mas Bagas tahu, pasti makin cinta deh, tambah cantik sih.” Ledekku. Tapi raut wajah mbak Clara malah berubah menjadi kalut.
          “Eh, kamu enggak pesen makan dulu, Ti?” dia mengalihkan pembicaraan.
          Aku mengangguk lalu berdiri memesan beberapa makanan ringan, karena firasatku malam ini akan terjadi pembicaraan panjang.
          Setelah kembali ke bangku, aku langsung menyerbu mbak Clara dengan berbagai pertanyaan. Aku bosan dengan basa-basi!
          “Apa sih, yang membuat mbak Clara gak bisa lepas dari Mas Bagas?”
          “Karena aku sayang sama Mas Bagas” ucapnya ringan. Tapi mataku mengisyaratkan bahwa aku tidak puas dengan jawaban yang ia berikan, dan ia menangkapnya. Lalu ia mulai bertutur, “Karena aku merasa Mas Bagas juga sayang sama aku. Aku juga bisa merasakan kalau sayang yang diberi Mas Bagas buatku itu gak main-main. Dia beneran sayang setengah mati sama aku. Aku bisa ngerasain itu, Ti. Satu hal lagi yang penting, aku merasa terlindungi dalam rengkuhan mas Bagas”.
          Dia memang benar, mas Bagas sangat sayang dengannya, setengah mati. Bahkan untuk membentak mbak Clara saja ia gentar. Pernah suatu waktu mbak Clara punya inisiatif untuk menghentikan permainan mas Bagas. Mengurangi jumlah wanita yang terluka karena ulah mas Bagas. Mbak Clara menghubungi, Sita, teman kencan mas Bagas yang entah keberapa. Setelah sepakat, mereka akhirnya bertemu disuatu tempat. Berdua.
          Dia bermaksud memberi tahu Sita bahwa Mas Bagas bukan lelaki baik-baik, lebih baik Sita mundur sebelum terluka lebih jauh. Sita tidak terima dengan berita itu, dia mengira Mbak Clara-lah yang merupakan selingkuhan Mas Bagas. Ratusan cacian dilontarkan kepada Mbak Clara, tidak peduli mereka tengah di tempat umum dan ribuan pasang mata sedang mengamati mereka. Beruntung aku memberi tahu rencana Mbak Clara pada Mas Bagas, sehingga aku dan Mas Bagas tiba tepat pada waktunya. Melihat Mbak Clara diperlakukan sedemikian rupa,rahang Mas Bagas mengeras, tangannya mengepal, emosinya meledak.
          “JANGAN PERNAH BERKATA KASAR PADA WANITAKU!” satu petasan dari mas Bagas meledak di muka Sita. Lalu Mas Bagas menarik lembut tangan Mbak Clara, dan membawanya pulang. Di perjalanan pulang, tangan mereka berikatan, tidak terlepaskan. Setengah berbisik ia berkata, “maafin aku Clara.” Satu kecupan mendarat di punggung tangan mbak Clara. Dan aku di bangku belakang hanya menjadi saksi bisu.
Kalau teringat kejadian itu, benar-benar menggelitik. Sita yang amarahnya begitu meledak-ledak langsung padam dan menciut dengan satu kalimat Mas Bagas yang menampar. Dan siapapun yang melihat kejadian waktu itu akan turut merasakan, betapa Mas Bagas tidak ingin siapapun melukai Mbak Clara.
          Mbak Clara menyodorkan sesuatu dan membuyarkan lamunanku. “Asti, tolong berikan ini pada keluargamu ya.”
          “Undangan pernikahan mbak? Tapi pernikahan siapa mbak?”
          “Itu… Undangan pernikahanku, Ti.” Ujarnya berat. Mataku membelalak, dengan cepat aku membuka undangan itu lalu megoreksi nama yang tercantum pada undangan itu. Berharap mbak Clara tengah bercanda. Namun percuma saja, dia tidak sedang bercanda. Namanya tercantum di sana bersanding dengan nama Nadi Wicaksono. Itu bukan nama mas Bagas!
“dan berikan ini pada Mas Bagas. Sampaikan salam maafku untuknya dan untuk Mama dan Papa. Aku tahu, mereka akan sangat kecewa dengan keputusanku. Tapi kamu paling tahu, berapa kali aku juga harus memendam kekecewaan pada Mas Bagas.” senyumnya getir. Aku masih mematung. Air mataku menetes.
“Tapi mas Bagas berani sumpah demi apa pun di dunia ini kalau dia gak akan melukai mbak Clara setelah kalian resmi menikah…” akhirnya aku bersuara.
Tangis mbak Clara menjadi. Sesaat kemudian ia menyapu air matanya dengan punggung tangannya, berusaha tegar. “Asti, dengar. Aku gak bisa nunggu lebih lama lagi dan membiarkan luka tumbuh dan berkembang setiap harinya. Dan apa kamu pikir dengan tidak melukaiku lagi setelah menikah, akan menghapus luka-lukaku saat ini? Aku ingin menghentikan taburan luka itu sekarang, bukan nanti.” Isaknya.
“Tapi mbak, Mas Bagas pasti hancur melihat mbak Clara menikah dengan orang lain. Mas Bagas cinta banget sama Mbak Clara. Please, pikirin lagi keputusan mbak. Atau mbak Clara sudah tidak mencintai Mas Bagas?” Aku memohon demi keselamatan jiwa dan raga Mas Bagas.
“Apa kamu pikir aku enggak hancur melihatnya setiap hari dengan wanita A, B, C, D? Apa kamu pikir aku enggak sekarat membayangkan Mas Bagas mencumbu mereka semua? Dan yang aku dapatkan hanyalah seonggok tubuh bekas cumbuan beratus wanita.” Ucapnya putus asa.  Setengah berbisik ia melanjutkan, “Bohong kalau aku udah enggak cinta sama dia. Tapi yang dibutuhkan dari sebuah hubungan tidak hanya cinta, Ti.”
Mbak Clara menggenggam tanganku, erat. Mengharap sebuah pengertian tanpa pemaksaan. Jujur aku juga sebenarnya tidak tega membiarkan wanita ini terkoyak lebih lama. Sebuah anggukan dari kepalaku, melebarkan senyum pada bibir Mbak Clara. Cantik. “Semoga Mbak bahagia dengan pernikahan itu.” Ucapanku seberat langkahku meninggalkan wanita yang masih terduduk dan berusaha mengusap gelinangan air mata yang sepertinya hanya dia dan Tuhan tahu kapan air itu berhenti mengalir.

---

My Dear Bagas.
Tujuanku menulis surat ini adalah untuk meminta maaf sekaligus restu darimu. Aku akan menikah, besok. Ya, dengan Mas Nadi, pilihan orang tuaku.
Aku sudah berusaha membicarakan ini padamu, tapi kamu selalu menghindar, dengan alasan kamu belum siap dan masih ingin bergaul dengan masa mudamu lebih lama, sementara orang tuaku tidak bisa menunggu lebih lama, di sisi lain luka-luka yang kamu torehkan disetiap menitnya juga tidak bisa ku biarkan membusuk lebih lama. Dan sejak pembicaraan itu, kamu selalu menghindariku.
Apa yang sebenarnya membuatmu tidak siap, Mas? Kamu terbelenggu dengan ketakutanmu sendiri, dan yang jelas kamu terlalu takut untuk bergeser dari zona nyamanmu.
Aku telah memberimu semua yang kamu minta, berharap dengan memberimu semua berarti aku menjadi yang terbaik lalu aku dapat memilikimu seutuhnya, tanpa ada selingan-selingan yang lain. Ternyata aku salah. Menjadi yang terbaik bukan berarti memberikan semuanya.
 Sampaikan maafku pada orangtuamu, biar aku yang mereka nilai cacat, sehingga kamu tetap menjadi anak yang baik di mata mereka. Aku juga sudah meminta pada Asti untuk tidak mengadu pada orangtuamu, kasian jika mereka harus tahu bahwa anak lelakinya tidak bisa menghargai perasaan wanita.
Terimakasih dan maaf untuk semua yang pernah terjadi di antara kita. Tentang cinta, aku menjaga cinta kita di satu sudut ruang dalam hatiku.

Peluk cium terakhirku,
Clara

Aku menyaksikan langsung kemurkaan Mas Bagas setelah membaca surat dari Mbak Clara, ia geram, ia marah, lalu ia menangis. Dia menjadi orang terapuh yang pernah ku lihat. Bahkan Mas Bagas menjadi lebih rapuh dari Mbak Clara.
 “Mungkin dia memang benar, aku tidak boleh melukainya lebih dari ini. Aku mengikhlaskanmu pergi karena aku mencintaimu, Clara.” Bisiknya di tengah sesenggukannya. Lalu dengan berat ia tersenyum menatapku, matanya masih nanar. Lalu aku memeluknya, menenangkannya. Tangisnya tumpah di pelukanku.
Tugasku selanjutnya adalah, menjauhkan mas Bagas dari benda tajam, obat nyamuk cair, dan yang jelas dari wanita yang hanya akan menjadi bagian permainannya. Cukup Mbak Clara.


kanaya

1 comments:

  • kid says:
    18 September 2011 pukul 21.18

    hmm,,nice words mon :D

    ini tulisanmu sendiri?? :p hehehe

    ajarin ngeblog lekk :D

Posting Komentar