Aku termangu melihat seorang perempuan terisak di depanku.
Tubuhnya terguncang, juga hatinya. Tidak ada kata yang mampu aku ucapkan untuk
menenangkan tangisnya selain, “Sabar ya, Mbak…” Namun nampaknya yang ia
butuhkan lebih dari sekedar kata sabar.
“Sampai kapan dek, mas Bagas seperti
ini? Aku udah gak kuat.” Katanya masih bicara terbata.
Demi apa aku bukan Dewi yang tahu
kapan kakak kandungku akan berhenti memperlakukan dia seperti ini. Kalau memang
dia ingin tahu jawaban pastinya, kenapa dia tidak menanyakan langsung saja pada
mas Bagas. Bahkan kalau memang dia sudah lelah dengan perilaku mas Bagas,
tinggalkan saja mas Bagas. Toh Clara cantik, tidak akan sulit
mencari pengganti mas Bagas.
“Aku cinta sama mas Bagas, tapi aku
juga gak bisa kalau dia cuma memberi luka. Di sisi lain, aku juga gak bisa
ninggalin mas Bagas.” Katanya lirih.
Repot!
Batinku. “Mbak Clara yang sabar ya. Nanti biar aku yang coba ngomong sama
mas Bagas.”
Setelah aku mengakhiri ucapanku,
seulas senyum hinggap di bibirnya, manis. Apa yang membuat mas Bagas tega
menyakiti lagi dan lagi wanita semanis dia. Dia lalu berpamitan, sambil
mengusap sisa genangan air mata.
“Terimakasih Asti. Aku berhutang
banyak padamu.”
Memang dia berhutang banyak padaku.
Dia sudah membuat nilai ulangan harian biologiku terjun payung. Karena malam
sebelum hari ulangan, aku mendengarkan isak tangisnya lagi. Semalaman suntuk!
Mbak Clara orang yang manis dan baik.
Kata mama, calon menantu idaman. Perhatiannya kepada keluargaku juga tidak
main-main. Sewaktu Papa opname di rumah sakit, mbak Clara hampir setiap hari
menjenguk papa dan membawakan masakan untuk mama dan aku. Tapi ibarat pesugihan
yang selalu minta tumbal, dalam kasus ini aku yang menjadi tumbalnya, dengan
selalu sedia mendengarkan dia bercerita tentang kegalauan hubungan mereka, mbak
Clara dan mas Bagas. Bukannya menyelamatkanku dari kepahitan menjadi tumbal,
Mama dan Papa malah berkata, “Wah, kalian rukun ya. Udah kayak adek kakak
beneran.” Itu menyakitkan.
Bagian yang paling membuatku sakit bukan
karena aku harus menjadi tong sampah untuk mbak Clara. Tapi melihat dia
menangis dan menangis karena tingkah polah kekasihnya, kakak kandungku, mas Bagas.
Setiap mbak Clara bercerita tentang mas Bagas, setiap itu pula menambah daftar
nama perempuan yang menjadi korban Mas Bagas: Marni, Utik, Nuke, Siti, dan
masih ada beberapa nama lagi. Perihnya adalah, Mas Bagas selalu meminta restu
mbak Clara sesaat sebelum mengeksekusi korban. “Sayang, nanti aku mau jalan
sama Nuke, rencananya aku mau nembak dia, paling lama juga jalan seminggu kok. Do you mind?” Dan benar saja, otak-hati dan mulut jarang
terjadi kesinambungan. Otak dan hati boleh saja mengatakan tidak, tapi yang
keluar dari mulut mbak Clara, “Janji ya cuma seminggu.” Lalu mbak Clara
memberikan senyum manis itu untuk mas Bagas, dan menyisakan tangisnya untukku.
Pernah suatu aku berada di rumah
berdua dengan mas Bagas, aku menginterogasinya,
“Mas, kok tega sih sama mbak Clara
kayak gitu?”
“Apa sih? Anak bau kencur mau tahu
aja.”
“Mas, serius. Aku udah denger semua
dari mbak Clara.”
“Apa yang kamu dengar dari dia adekku
bawel?”
“Semuanya. Marni, Utik, Nuke, Siti,
dan banyak lagi. Atau perlu aku diskusiin masalah ini sama Mama dan Papa?”
Ancamanku berhasil, Mas Bagas gentar
kalau sudah berhubungan dengan Mama dan Papa. Yang pertama, dengan perilaku Mas
Bagas yang seperti itu, otomatis mereka akan membela mbak Clara, bahkan
menyuruh mbak Clara menyudahi hubungannya dengan Mas Bagas. Yang kedua, tidak
menutup kemungkinan mas Bagas akan dijatuhi hukuman, dengan menyita segala aset
yang dapat memberinya kenyamanan.
“Aku mencintai Clara. Sampai kapan
pun. Aku hanya nggak ingin kehilangan dia. Aku ingin memperistrinya dek. Tapi
itu nanti, saat aku dan dia sudah benar-benar dalam keadaan siap. Aku masih
belum bisa terikat dengan komitmen yang berat. Aku masih ingin menikmati masa
muda. Lebih baik menjadi remaja nakal daripada bapak-bapak nakal kan?”
kerlingnya usil.
“Tapi kenapa mas Bagas blak-blakan
gitu sama mbak Clara? Kasian tahu. Dia itu terluka.”
“Dia yang meminta padaku untuk tidak
menutupi hal apapun.”
“Termasuk mengkhianatinya?”
“Aku enggak mengkhianati dia,
mengkhianati adalah ketika nama Clara tergeser dengan nama lain dalam hatiku.
Pengkhianatan itu masalah hati, bukan fisik.”
“Tapi mas…”
“Udahlah dek. Ini masalah mas. Kamu
belum waktunya untuk banyak tahu.” Aku hanya bisa diam dan cemberut, sebelum
dia melanjutkan dan membuat uluran bibir ini makin maju, “satu lagi, mama sama
papa gak boleh tahu. Terus kalau Clara curhat sama kamu, tanggepin aja sebisa
kamu. Oke Asti?”
“Tapi mas, bukan cuma mbak Clara yang
capek, Asti juga. Asti capek lihat mbak Clara nangis kayak gitu.”
“Makanya, kalau mau lihat mbak Clara gak
sedih, dihibur donk. Bilangin juga, Mas Bagas bersumpah demi apapun di dunia
ini, Mas gak bakal ngelukain dia sedikitpun, kalau kita udah nikah.”
Dan aku hanya terbengong-bengong
melihat kepergiannya. Gampang ya bikin
sumpah.
---
Malam ini Mbak Clara mengajakku makan
malam di Mc. Donald’s setelah sebulan lebih kami tidak saling bertemu.
Bersyukur karena besok tidak ada ulangan harian, karena pasti malam ini aku membutuhkan
waktu dan tenaga ekstra untuk calon kakak iparku. Mbak Clara memintaku untuk
tidak memberi tahu siapapun tentang pertemuan ini, tidak mas Bagas, mama dan
papa.
“Hei Asti…” aku menoleh ke sumber
suara, si pemilik suara terduduk di suatu sudut ruangan
dengan melambaikan tangannya. Raut mukanya ceria, sangat ceria. Lalu aku menuju
bangku itu dan duduk di depannya.
“idiih, gayaa sekarang mbak Clara pake
kacamata. Pantes silau.” Candaku lalu diikuti gelak tawa kami berdua.
“Iya nih, minus-nya makin besar, udah
harus pake kacamata.”
“Kalau mas Bagas tahu, pasti makin
cinta deh, tambah cantik sih.” Ledekku. Tapi raut wajah mbak Clara malah
berubah menjadi kalut.
“Eh, kamu enggak pesen makan dulu,
Ti?” dia mengalihkan pembicaraan.
Aku mengangguk lalu berdiri memesan
beberapa makanan ringan, karena firasatku malam ini akan terjadi pembicaraan
panjang.
Setelah kembali ke bangku, aku
langsung menyerbu mbak Clara dengan berbagai pertanyaan. Aku bosan dengan
basa-basi!
“Apa sih, yang membuat mbak Clara gak
bisa lepas dari Mas Bagas?”
“Karena aku sayang sama Mas Bagas”
ucapnya ringan. Tapi mataku mengisyaratkan bahwa aku tidak puas dengan jawaban
yang ia berikan, dan ia menangkapnya. Lalu ia mulai bertutur, “Karena aku
merasa Mas Bagas juga sayang sama aku. Aku juga bisa merasakan kalau sayang
yang diberi Mas Bagas buatku itu gak main-main. Dia beneran sayang setengah
mati sama aku. Aku bisa ngerasain itu, Ti. Satu hal lagi yang
penting, aku merasa terlindungi dalam rengkuhan mas Bagas”.
Dia memang benar, mas Bagas sangat
sayang dengannya, setengah mati. Bahkan untuk membentak mbak Clara saja ia
gentar. Pernah suatu waktu mbak Clara punya inisiatif untuk menghentikan
permainan mas Bagas. Mengurangi jumlah wanita yang terluka karena ulah mas
Bagas. Mbak Clara menghubungi, Sita, teman kencan mas Bagas yang entah
keberapa. Setelah sepakat, mereka akhirnya bertemu disuatu tempat. Berdua.
Dia bermaksud memberi tahu Sita bahwa
Mas Bagas bukan lelaki baik-baik, lebih baik Sita mundur sebelum terluka lebih
jauh. Sita tidak terima dengan berita itu, dia mengira Mbak Clara-lah yang
merupakan selingkuhan Mas Bagas. Ratusan cacian dilontarkan kepada Mbak Clara,
tidak peduli mereka tengah di tempat umum dan ribuan pasang mata sedang
mengamati mereka. Beruntung aku memberi tahu rencana Mbak Clara pada Mas Bagas,
sehingga aku dan Mas Bagas tiba tepat pada waktunya. Melihat Mbak Clara
diperlakukan sedemikian rupa,rahang Mas Bagas mengeras, tangannya mengepal,
emosinya meledak.
“JANGAN PERNAH BERKATA KASAR PADA
WANITAKU!” satu petasan dari mas Bagas meledak di muka Sita. Lalu Mas Bagas
menarik lembut tangan Mbak Clara, dan membawanya pulang. Di perjalanan pulang,
tangan mereka berikatan, tidak terlepaskan. Setengah berbisik ia berkata,
“maafin aku Clara.” Satu kecupan mendarat di punggung tangan mbak Clara. Dan
aku di bangku belakang hanya menjadi saksi bisu.
Kalau teringat kejadian itu, benar-benar menggelitik. Sita
yang amarahnya begitu meledak-ledak langsung padam dan menciut dengan satu
kalimat Mas Bagas yang menampar. Dan siapapun yang melihat kejadian waktu itu
akan turut merasakan, betapa Mas Bagas tidak ingin siapapun melukai Mbak Clara.
Mbak Clara menyodorkan sesuatu dan
membuyarkan lamunanku. “Asti, tolong berikan ini pada keluargamu ya.”
“Undangan pernikahan mbak? Tapi
pernikahan siapa mbak?”
“Itu… Undangan pernikahanku, Ti.”
Ujarnya berat. Mataku membelalak, dengan cepat aku membuka undangan itu lalu
megoreksi nama yang tercantum pada undangan itu. Berharap mbak Clara tengah
bercanda. Namun percuma saja, dia tidak sedang bercanda. Namanya tercantum di
sana bersanding dengan nama Nadi Wicaksono. Itu bukan nama mas Bagas!
“dan berikan ini pada Mas Bagas. Sampaikan salam maafku
untuknya dan untuk Mama dan Papa. Aku tahu, mereka akan sangat kecewa dengan
keputusanku. Tapi kamu paling tahu, berapa kali aku juga harus memendam
kekecewaan pada Mas Bagas.” senyumnya getir. Aku masih mematung. Air mataku
menetes.
“Tapi mas Bagas berani sumpah demi apa pun di dunia ini kalau
dia gak akan melukai mbak Clara setelah kalian resmi menikah…” akhirnya aku
bersuara.
Tangis mbak Clara menjadi. Sesaat kemudian ia menyapu air
matanya dengan punggung tangannya, berusaha tegar. “Asti, dengar. Aku gak bisa
nunggu lebih lama lagi dan membiarkan luka tumbuh dan berkembang setiap
harinya. Dan apa kamu pikir dengan tidak melukaiku lagi setelah menikah, akan
menghapus luka-lukaku saat ini? Aku ingin menghentikan taburan luka itu
sekarang, bukan nanti.” Isaknya.
“Tapi mbak, Mas Bagas pasti hancur melihat mbak Clara menikah
dengan orang lain. Mas Bagas cinta banget sama Mbak Clara. Please, pikirin lagi
keputusan mbak. Atau mbak Clara sudah tidak mencintai Mas Bagas?” Aku memohon
demi keselamatan jiwa dan raga Mas Bagas.
“Apa kamu pikir aku enggak hancur melihatnya setiap hari
dengan wanita A, B, C, D? Apa kamu pikir aku enggak sekarat membayangkan Mas
Bagas mencumbu mereka semua? Dan yang aku dapatkan hanyalah seonggok tubuh
bekas cumbuan beratus wanita.” Ucapnya putus asa. Setengah berbisik ia melanjutkan, “Bohong
kalau aku udah enggak cinta sama dia. Tapi yang dibutuhkan dari sebuah hubungan
tidak hanya cinta, Ti.”
Mbak Clara menggenggam tanganku, erat. Mengharap sebuah
pengertian tanpa pemaksaan. Jujur aku juga sebenarnya tidak tega membiarkan
wanita ini terkoyak lebih lama. Sebuah anggukan dari kepalaku, melebarkan
senyum pada bibir Mbak Clara. Cantik. “Semoga Mbak bahagia dengan pernikahan
itu.” Ucapanku seberat langkahku meninggalkan wanita yang
masih terduduk dan berusaha mengusap gelinangan air mata yang sepertinya hanya
dia dan Tuhan tahu kapan air itu berhenti mengalir.
---
My Dear Bagas.
Tujuanku
menulis surat ini adalah untuk meminta maaf sekaligus restu darimu. Aku akan
menikah, besok. Ya, dengan Mas Nadi, pilihan orang tuaku.
Aku sudah
berusaha membicarakan ini padamu, tapi kamu selalu menghindar, dengan alasan
kamu belum siap dan masih ingin bergaul dengan masa mudamu lebih lama,
sementara orang tuaku tidak bisa menunggu lebih lama, di sisi lain luka-luka yang
kamu torehkan disetiap menitnya juga tidak bisa ku biarkan membusuk lebih lama.
Dan sejak pembicaraan itu, kamu selalu menghindariku.
Apa yang
sebenarnya membuatmu tidak siap, Mas? Kamu terbelenggu dengan ketakutanmu
sendiri, dan yang jelas kamu terlalu takut untuk bergeser dari zona nyamanmu.
Aku telah
memberimu semua yang kamu minta, berharap dengan memberimu semua berarti aku
menjadi yang terbaik lalu aku dapat memilikimu seutuhnya, tanpa ada
selingan-selingan yang lain. Ternyata aku salah. Menjadi yang terbaik bukan
berarti memberikan semuanya.
Sampaikan maafku pada orangtuamu, biar aku
yang mereka nilai cacat, sehingga kamu tetap menjadi anak yang baik di mata
mereka. Aku juga sudah meminta pada Asti untuk tidak mengadu pada orangtuamu,
kasian jika mereka harus tahu bahwa anak lelakinya tidak bisa menghargai
perasaan wanita.
Terimakasih dan
maaf untuk semua yang pernah terjadi di antara kita. Tentang cinta, aku menjaga
cinta kita di satu sudut ruang dalam hatiku.
Peluk cium terakhirku,
Clara
Aku menyaksikan langsung kemurkaan Mas Bagas setelah membaca
surat dari Mbak Clara, ia geram, ia marah, lalu ia menangis. Dia menjadi orang
terapuh yang pernah ku lihat. Bahkan Mas Bagas menjadi lebih rapuh dari Mbak
Clara.
“Mungkin dia memang
benar, aku tidak boleh melukainya lebih dari ini. Aku mengikhlaskanmu pergi
karena aku mencintaimu, Clara.” Bisiknya di tengah sesenggukannya. Lalu dengan
berat ia tersenyum menatapku, matanya masih nanar. Lalu aku memeluknya,
menenangkannya. Tangisnya tumpah di pelukanku.
Tugasku selanjutnya adalah, menjauhkan mas Bagas dari benda
tajam, obat nyamuk cair, dan yang jelas dari wanita yang hanya akan menjadi
bagian permainannya. Cukup Mbak Clara.
kanaya